Kamis, 30 Mei 2013

Ceremai Gunung


Gunung Ceremai (seringkali secara salah kaprah dinamakan "Ciremai") secara administratif termasuk dalam wilayah tiga kabupaten, yakni Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat. Posisi geografis puncaknya terletak pada 6° 53' 30" LS dan 108° 24' 00" BT, dengan ketinggian 3.078 m di atas permukaan laut. Gunung ini merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat.

Gunung ini memiliki kawah ganda. Kawah barat yang beradius 400 m terpotong oleh kawah timur yang beradius 600 m. Pada ketinggian sekitar 2.900 m dpl di lereng selatan terdapat bekas titik letusan yang dinamakan Gowa Walet.

Kini G. Ceremai termasuk ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), yang memiliki luas total sekitar 15.000 hektare.

Nama gunung ini berasal dari kata cereme (Phyllanthus acidus, sejenis tumbuhan perdu berbuah kecil dengan rada masam), namun seringkali disebut Ciremai, suatu gejala hiperkorek akibat banyaknya nama tempat di wilayah Pasundan yang menggunakan awalan 'ci-' untuk penamaan tempat.

Vulkanologi dan geologi

Gunung Ceremai termasuk gunungapi Kuarter aktif, tipe A (yakni, gunungapi magmatik yang masih aktif semenjak tahun 1600), dan berbentuk strato. Gunung ini merupakan gunungapi soliter, yang dipisahkan oleh Zona Sesar Cilacap – Kuningan dari kelompok gunungapi Jawa Barat bagian timur (yakni deretan Gunung Galunggung, Gunung Guntur, Gunung Papandayan, Gunung Patuha hingga Gunung Tangkuban Perahu) yang terletak pada Zona Bandung.

Ceremai merupakan gunungapi generasi ketiga. Generasi pertama ialah suatu gunungapi Plistosen yang terletak di sebelah G. Ceremai, sebagai lanjutan vulkanisma Plio-Plistosen di atas batuan Tersier. Vulkanisma generasi kedua adalah Gunung Gegerhalang, yang sebelum runtuh membentuk Kaldera Gegerhalang. Dan vulkanisma generasi ketiga pada kala Holosen berupa G. Ceremai yang tumbuh di sisi utara Kaldera Gegerhalang, yang diperkirakan terjadi pada sekitar 7.000 tahun yang lalu (Situmorang 1991).

Letusan G. Ceremai tercatat sejak 1698 dan terakhir kali terjadi tahun 1937 dengan selang waktu istirahat terpendek 3 tahun dan terpanjang 112 tahun. Tiga letusan 1772, 1775 dan 1805 terjadi di kawah pusat tetapi tidak menimbulkan kerusakan yang berarti. Letusan uap belerang serta tembusan fumarola baru di dinding kawah pusat terjadi tahun 1917 dan 1924. Pada 24 Juni 1937 – 7 Januari 1938 terjadi letusan freatik di kawah pusat dan celah radial. Sebaran abu mencapai daerah seluas 52,500 km bujursangkar (Kusumadinata, 1971). Pada tahun 1947, 1955 dan 1973 terjadi gempa tektonik yang melanda daerah baratdaya G. Ciremai, yang diduga berkaitan dengan struktur sesar berarah tenggara – barat laut. Kejadian gempa yang merusak sejumlah bangunan di daerah Maja dan Talaga sebelah barat G. Ceremai terjadi tahun 1990 dan tahun 2001. Getarannya terasa hingga Desa Cilimus di timur G. Ceremai.

Jalur pendakian

Puncak gunung Ceremai dapat dicapai melalui banyak jalur pendakian. Akan tetapi yang populer dan mudah diakses adalah melalui Desa Palutungan dan Desa Linggarjati di Kab. Kuningan, dan Desa
Apuy di Kab. Majalengka. Satu lagi jalur pendakian yang jarang digunakan ialah melalui Desa Padabeunghar di perbatasan Kuningan dengan Majalengka di utara. Di kota Kuningan terdapat kelompok pecinta alam "AKAR" (Anak Kuningan Alam Rimba) yang dapat membantu menyediakan berbagai informasi dan pemanduan mengenai pendakian Gunung Ceremai.


Vegetasi

Hutan-hutan yang masih alami di Gunung Ceremai tinggal lagi di bagian atas. Di sebelah bawah, terutama di wilayah yang pada masa lalu dikelola sebagai kawasan hutan produksi Perum Perhutani, hutan-hutan ini telah diubah menjadi hutan pinus (Pinus merkusii), atau semak belukar, yang terbentuk akibat kebakaran berulang-ulang dan penggembalaan. Kini, sebagian besar hutan-hutan di bawah ketinggian … m dpl. dikelola dalam bentuk wanatani (agroforest) oleh masyarakat setempat.
Sebagaimana lazimnya di pegunungan di Jawa, semakin seseorang mendaki ke atas di Gunung Ciremai ini dijumpai berturut-turut tipe-tipe hutan pegunungan bawah (submontane forest), hutan pegunungan atas (montane forest) dan hutan subalpin (subalpine forest), dan kemudian wilayah-wilayah terbuka tak berpohon di sekitar puncak dan kawah.

Lebih jauh, berdasarkan keadaan iklim mikronya, LIPI (2001) membedakan lingkungan Ciremai atas dataran tinggi basah dan dataran tinggi kering. Sebagai contoh, hutan di wilayah Resort Cigugur (jalur Palutungan, bagian selatan gunung) termasuk beriklim mikro basah, dan di Resort Setianegara (sebelah utara jalur Linggarjati) beriklim mikro kering.

Secara umum, jalur-jalur pendakian Palutungan (di bagian selatan Gunung Ciremai), Apuy (barat), dan Linggarjati (timur) berturut-turut dari bawah ke atas akan melalui lahan-lahan pemukiman, ladang dan kebun milik penduduk, hutan tanaman pinus bercampur dengan ladang garapan dalam wilayah hutan (tumpangsari), dan terakhir hutan hujan pegunungan. Sedangkan di jalur Padabeunghar (utara) vegetasi itu ditambah dengan semak belukar yang berasosiasi dengan padang ilalang. Pada keempat jalur pendakian, hutan hujan pegunungannya dapat dibedakan lagi atas tiga tipe yaitu hutan pegunungan bawah, hutan pegunungan atas dan vegetasi subalpin di sekitar kawah. Kecuali vegetasi subalpin yang diduga telah terganggu oleh kebakaran, hutan-hutan hujan pegunungan ini kondisinya masih relatif utuh, hijau dan menampakkan stratifikasi tajuk yang cukup jelas.

Margasatwa

Keanekaragaman satwa di Ceremai cukup tinggi. Penelitian kelompok pecinta alam Lawalata IPB di bulan April 2005 mendapatkan 12 spesies amfibia (kodok dan katak), berbagai jenis reptil seperti bunglon, cecak, kadal dan ular, lebih dari 95 spesies burung, dan lebih dari 20 spesies mamalia.


Semoga bermanfaat.

Curug Tujuh Cilember



Curug Cilember terletak di ketinggian 800-900 mdpl dengan suhu berkisar 18-23 C dan Luas kawasan sekitar    5, 9 hektar yang didominasi perbukitan dengan tanaman pinus. 
Berjarak sekitar 20 km dari kota Bogor. masuk melalui gerbang Desa Cilember, Atau juga dapat masuk melalui Taman Matahari, Jarak dari jalan raya hingga pintu gerbang curug ini sekitar 3 km. Kondisi jalan menuju lokasi yang berliku dan sempit namun tetap dapat dilalui kendaraan bermotor (sepeda motor dan mobil kecil)
Tiket masuk( Hari Libur ) adalah Rp 12000,- Bila membawa kendaraan, tiket tambahan yang harus dibeli adalah     Rp 8000,- untuk motor.
Fasilitas di Curug Cilember cukup lengkap, mulai dari MCK, pos jaga, pondok, loket karcis, jalan setapak, tempat parkir, gardu pandang, tempat duduk, ruang informasi dan tempat sampah hingga tempat ganti pakaian. Dilengkapi juga permainan yang keberanian  seperti Flying Fox. Juga ada warung makanan dan minuman bila tak membawa bekal juga cindera mata.

Curug Cilember memiliki tujuh buah air terjun yang berbeda lokasinya namun satu komplek wana wisata. Semakin kecil angkanya, semakin tinggi letak air terjun tersebut. Namun curug yang paling banyak dikunjungi adalah curug yang ketujuh, konon menurut warga desa setempat diyakini berkhasiat sebagai obat awet muda ( ?... ), mempercepat dapat jodoh ( ?... ) dan dapat menyembuhkan penyakit. 



Curug 

Curug tujuh Lokasinya mudah diakses karena dekat dengan pintu masuk dan paling ramai dikunjungi oleh para pengunjung. Curug ini memiliki 2 curahan atau limpahan air dengan kolam penampungan dibawahnya.
Curug keenam aga sulit untuk dikunjungi karena belum ada jalan setapak menuju kesana, biasanya pengunjung langsung menuju curug kelima.
Curug kelima lebih tinggi dan bertingkat-tingkat, dengan gemuruh curahan dan airnya yang jernih mengalir deras menghantam bebatuan, dengan keasrian pemandangan di sekelilingnya. Curug keempat dan ketiga letaknya tidak berjauhan satu sama lain. 

Untuk mencapai ke dua curug ini dibutuhkan perjuangan yang cukup berat karena kondisi jalan yang lebih  licin, terjal, berbatu dan juga banyak lintah/ pacet yang ada di dedaunan sepanjang jalur ke sana. Curug kedua menuju curug ini dibutuhkan waktu lebih lama karena    perjalannnya cukup jauh dari curug ketiga. Curug kesatu yang terletak paling atas yang merupakan curug tertinggi di Wana Wisata Curug Cilember dibutuhkan waktu sekitar 2 hingga 3 jam berjalan kaki dari curug ke tujuh.  Hal ini dikarenakan medan yang dilalui menuju ke curug kesatu ini cukup sulit.  Disarankan untuk menggunakan pemandu yang sudah tahu medan perjalanan.

Legenda
Dahulu kala, konon area ini sebagai tempat bersemayamnya putri kerajaan Pasundan yang cantik jelita dan tentunya baik hati.  Ia memiliki raut wajah yang awet muda lantaran sering berbasuh di ketujuh air terjun tersebut.  Hingga akhir hayatnya, ia tetap berada di sekitar area Wana Wisata Curug Cilember untuk menjaga area curug terebut.  Hingga kini penduduk sekitar tidak mengetahui pasti keberadaannya.
 

Wisata lain, Taman Kupu-kupu. Taman dimana dapat melihat beragam jenis Kupu-kupu dengan beraneka keunikan yang mereka miliki, bahkan dapat belajar tentang penangkaran Kupu-kupu. Selain itu disini juga terdapat Taman Konservasi Kupu-Kupu, sebuah bangunan berbentuk kubah jaring raksasa tempat kupu-kupu dikembangbiakan. Ada petugas yang akan menjelaskan proses metamorfosis kupu-kupu, memperlihatkan telur, ulat maupun kepompong yang ada di taman konservasi ini. 




Semoga bermanfaat.

Kota Tua Jakarta


Kota Tua Jakarta, juga dikenal dengan sebutan Batavia Lama (Oud Batavia), adalah sebuah wilayah kecil di Jakarta, Indonesia. Wilayah khusus ini memiliki luas 1,3 kilometer persegi melintasi Jakarta Utara dan Jakarta Barat (Pinangsia, Taman Sari dan Roa Malaka).

Dijuluki "Permata Asia" dan "Ratu dari Timur" pada abad ke-16 oleh pelayar Eropa, Jakarta Lama dianggap sebagai pusat perdagangan untuk benua Asia karena lokasinya yang strategis dan sumber daya melimpah.

Tahun 1526, Fatahillah, dikirim oleh Kesultanan Demak, menyerang pelabuhan Sunda Kelapa di kerajaan Hindu Pajajaran, kemudian dinamai Jayakarta. Kota ini hanya seluas 15 hektar dan memiliki tata kota pelabuhan tradisional Jawa. Tahun 1619, VOC menghancurkan Jayakarta di bawah komando Jan Pieterszoon Coen. Satu tahun kemudian, VOC membangun kota baru bernama Batavia untuk menghormati Batavieren, leluhur bangsa Belanda. Kota ini terpusat di sekitar tepi timur Sungai Ciliwung, saat ini Lapangan Fatahillah.

Penduduk Batavia disebut "Batavianen", kemudian dikenal sebagai suku "Betawi", terdiri dari etnis kreol yang merupakan keturunan dari berbagai etnis yang menghuni Batavia.

Tahun 1635, kota ini meluas hingga tepi barat Sungai Ciliwung, di reruntuhan bekas Jayakarta. Kota ini dirancang dengan gaya Belanda Eropa lengkap dengan benteng (Kasteel Batavia), dinding kota, dan kanal. Kota ini diatur dalam beberapa blok yang dipisahkan oleh kanal [1]. Kota Batavia selesai dibangun tahun 1650. Batavia kemudian menjadi kantor pusat VOC di Hindia Timur. Kanal-kanal diisi karena munculnya wabah tropis di dalam dinding kota karena sanitasi buruk. Kota ini mulai meluas ke selatan setelah epidemi tahun 1835 dan 1870 mendorong banyak orang keluar dari kota sempit itu menuju wilayah Weltevreden (sekarang daerah di sekitar Lapangan Merdeka). Batavia kemudian menjadi pusat administratif Hindia Timur Belanda. Tahun 1942, selama pendudukan Jepang, Batavia berganti nama menjadi Jakarta dan masih berperan sebagai ibu kota Indonesia sampai sekarang.

Tahun 1972, Gubernur Jakarta, Ali Sadikin, mengeluarkan dekrit yang resmi menjadikan Kota Tua sebagai situs warisan. Keputusan gubernur ini ditujukan untuk melindungi sejarah arsitektur kota — atau setidaknya bangunan yang masih tersisa di sana.

Meski dekrit Gubernur dikeluarkan, Kota Tua tetap terabaikan. Banyak warga yang menyambut hangat dekrit ini, tetapi tidak banyak yang dilakukan untuk melindungi warisan era kolonial Belanda.

 Semoga bermanfaat.


 
Copyright (c) 2010 SukaNgeGoBlog. Design by WPThemes Expert
Themes By Buy My Themes And Cheap Conveyancing.